Komnas HAM Sebut Ada Indikasi Pelanggaran HAM Dalam Kasus Rempang

JAKARTA - Rempang sempat mati suri, pengembangan pulau rempang berdenyut kembali atau naik kelas di era presiden joko widodo. Namun masyarakat lokal menjadi korban.

Penggunaan kekerasan, apapun dalihnya, tidak dibenarkan. Jika sejak awal pemerintah mengedepankan dialog dan musyawarah, maka peristiwa 7 dan 11 September 2023 tak akan pernah terjadi.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P Siagian mengatakan ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM saat dua kali bentrokan antara warga sipil dan aparat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, awal September lalu. Meski demikian lembaganya masih mendalami dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Komnas HAM RI telah melaksanakan pemantauan proaktif pada 15-17 September 2023 ke wilayah tersebut dengan meninjau lokasi dan meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait.

Menurut Saurlin, lembaganya menemukan adanya pengerahan lebih dari 1.000 pasukan gabungan untuk mengamankan rencana pengukuran atau pematokan tata batas di Pulau Rempang oleh BP Batam pada 7 September. Bahkan Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Barelang meminta tambahan 400 pasukan dari Kepolisian Daerah Riau untuk mengantisipasi aksi masyarakat yang semakin besar dan tidak terkontrol.

"Itu kita nilai sangat berlebihan,” ungkapnya.

Selain itu, tambahnya, telah terjadi penangkapan terhadap masyarakat pada saat terjadi bentrok antara masyarakat dan aparat pada 7 dan 11 September. Delapan sudah dibebaskan dan 34 lainnya masih ditahan.

Saurlin mengatakan, Komnas HAM juga mendapatkan keterangan bahwa gas air mata masuk ke lingkungan sekolah berasal dari hutan yang berada di depan SMPN 22 Galang yang berjarak 30 meter dari gedung sekolah. Bahkan sebelum gas air mata masuk ke lingkungan sekolah, terdengar tiga kali dentuman dari hutan depan sekolah.

Pihak SDN 24 Galang pun juga mendengar dentuman keras di beberapa titik di lingkungan sekolah dan seketika dipenuhi gas air mata. Hal ini, kata Saurlin, masih meninggalkan dampak psikologis bagi siswa sehingga kehadiran siswa tidak pernah mencapai 100 persen usai peristiwa tersebut.

“Mereka mengakui gas air mata masuk ke sekolah dan menimbulkan kepanikan, luka-luka, pingsan, pusing, mual dan sebagainya yang mengenai puluhan siswa di sana. Itu membuat trauma mereka dan besok harinya tidak sekolah sebagian besar. Secara psikolog, mereka sangat ketakutan dengan peristiwa tersebut,” jelas Saurlin.

Bahkan Komnas HAM juga menemukan korban bayi berusia delapan bulan yang terdampak hebat terkait penggunaan gas air mata pada peristiwa itu di sekitar SDN 24 Galang.

Masyarakat Merasa Terintimidasi

Saurlin mengatakan, saat Komnas HAM mendatangi masyarakat di Desa Sembulang, Desa Dapur 6 dan Pantai Melayu sejumlah penduduk di desa-desa itu mengaku bahwa Menteri Investasi Bahli Lahadalia sempat datang dari rumah ke rumah dengan membawa aparat keamanan sehingga mereka merasa terintimidasi.

Kata Saurlin, masyarakat juga mengaku tidak pernah menandatangani persetujuan relokasi dan tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Yang menimbulkan perlawanan menurut masyarakat karena terjadi pematokan lahan sepihak.

Saurlin mengungkapkan bahwa di desa tersebut terdapat banyak makam kuno yang sudah sangat tua dan menjadi bukti penting bahwa di wilayah tersebut sudah ada perkampungan jauh sebelum proyek ini ada.

“Menurut kami memang sudah terjadi pelanggaran hak-hak masyarakat di sana, itu jelas ya. Karena tidak ada dari sejak awal proses yang dialogis dan transparan terkait relokasi dan penggusuran, itu tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” ungkapnya.

Lanjutnya, jika ingin melakukan penggusuran, setidaknya harus mendahulukan musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan atau adanya tempat baru terlebih dahulu. Sementara dalam kasus ini, penggusuran dilakukan padahal tempat baru tidak ada sehingga masyarakat kebingungan. (far)

Berita Terkait