Asal Muasal Asta Tinggi Sumenep

Oleh : Akhmad Junadi
Penulis Buku Lintasan Sejarah Sumenep dan Asta Tinggi Beserta Tokoh di Dalamnya

Makam pertama Asta Tinggi

Banyak pendapat mengatakan tentang makam yang pertama kali ada di komplek  Asta Tinggi. Namun pernyataan tersebut merupakan bagian dari satu pandangan dari berdirinya Asta Tinggi itu sendiri. Sedangkan pada penjelasan di muka dijelaskan, bahwa Asta Tinggi itu dibangun pertama kali oleh Pangeran Rama pada sekitar tahun 1695 Masehi.

Dan kita ketahui pula, bahwa sebelum Asta Tinggi itu dibangun, semua raja-raja Sumenep yang pernah berkuasa, pasareannya (pemakamannya) berpencar-pencar. Jokotole ada di Asta Sa'asa Kecamatan Manding, Pangeran Siding Puri ada di Desa Bengkal dan R. Aria Kanduruan, Pangeran Lor, Pangeran Wetan ada di Asta Karang Sabu desa Karangduak serta banyak lagi yang lainnya.

Pada tahun 1626 M keturunan Sultan Demak mengangkat R. Mas Pangeran Anggadipa untuk menjadi Adipati Sumenep. Dan pada tahun 1644 M dipecat dari jabatan Adipati oleh Sultan Agung. Jadi jelas dapat diambil kesimpulan, bahwa antara pembangunan Asta Tinggi dengan meninggalnya R. Mas Pangeran Anggadipa sebagai orang yang pertama kali dimakamkan di Asta Tinggi.

Selain itu juga masih ada pertanyaan yang sampai sekarang menjadi teka-teki yang belum terungkap. Yaitu tentang keberadaan sebuah makam yang mempunyai ciri khas batu nisan perempuan. Makam tersebut ada disebelah barat makam Pangeran Anggadipa dan sampai sekarang masih belum diketahui namanya.

Dalam sejarah Sampang diceritakan, bahwa setelah beberapa saat bertugas di Sumenep, Pangeran Anggadipa memperistri putri dari Panembahan Lemah Duwur (Raden Pranoto) di Sampang yang bernama R. Ayu Mas Ireng. Dari hasil perkawinan keduanya dikaruniai banyak keturunan. Namun ketika dipecat dari jabatan Adipati seperti keterangan di atas, bersama seluruh keluarga tidak kembali ke daerah asalnya di Jepara.

Makam Pangeran Anggadipa, Makam pertama di komplek Asta Tinggi. Adipati Sumenep (1626-1744)

Atas dasar pemikiran, pertimbangan dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa kuburan yang ada di sebelah barat Pangeran Anggadipa adalah istrinya yang bernama R. Ayu Mas Ireng.

Perlu juga diketahui, bahwa R. Ayu Mas Ireng adalah putri Panembahan Lemah Duwur dengan istri selir. Sedangkan istri Padmi adalah Putra Sultan Pajang.

Pembagunan Asta Tinggi

Awal mulanya keberadaan komplek makam Asta Tinggi tidaklah seperti sekarang. Walaupun makam Pangeran Anggadipa dengan istrinya adalah yang pertama kali dimakamkan di Asta Tinggi. Namun disekelilingnya tidak ada pagar, hanya rimba belantara dan bebatuan terjal.

Untuk menghormati jasa leluhur raja sebelumnya, maka pada sekitar tahun 1695 M ketika Pangeran Rama menjabat Adipati Sumenep, mendirikan pagar batu pada sekeliling komplek bagian barat Asta Tinggi. Menurut cerita tutur pembangunan pagar Asta Tinggi tersebut, tidak mengunakan campuran lolo (campuran tanah dengan semen atau batu gamping). Hanya batu yang disusun dan tertata rapi.

Sebenarnya seluruh areal komplek makam Asta Tinggi dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Barat dan bagian Timur. Bagian Barat itu sendiri dibangun oleh Pangeran Rama yang mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri tersebut nampak pada arsitek Jawa. Karena pada Zaman pemerintahan Pangeran Rama, semua dibawah pengaruh kekuasaan Mataram.

Pada pembangunan pagar tembok bagian Timur beserta gapuranya sebagai pintu masuk mempunyai ciri yang berbeda dengan bagian Barat. Walaupun secara keseluruhan pagar bagian Barat sampai Timur tidak dapat dipisahkan. Ciri tersebut lebih nampak pada pola bangunan gapura dan bangunan kubah sebagai tempat pesarean yang lebih dipengaruhi perpaduan Cina, Eropa, Arab, serta Jawa.

Pembangunan pagar bagian timur tersebut, dilakukan pada zaman pemerintahan Panembahan Notokusumo I Asiruddin pada tahun 1762-1881 M. Hal tersebut dilakukan oleh Panembahan Notokusumo I Asiruddin adalah untuk membuktikan dirinya merupakan sosok yang dijadikan contoh dalam menghargai leluhur dalam memperjuangkan Sumenep.

Setelah Panembahan Notokusumo I Asiruddin berpulang ke Rahmatullah, penyempurnaan pembangunan Asta Tinggi dilanjutkan oleh putranya, yaitu Sultan Abdur Rahman yang menjabat Adipati Sumenep pada tahun 1811-1854 M. Tahap pembangunan Asta Tinggi dicanangkan sebagai tahap akhir yang mencapai kesempurnaan. Akan tetapi tidak demikian, dan masih berlanjut pada putranya yaitu Panembahan Moh. Saleh.

Perbedaan corak dan karakter antara pola bangunan Barat dengan pola bangunan Timur adalah merupakan tanda dari perbedaan pelaku pendiri bangunan, pagar, gedung (congkop) tersebut. Sebagai pendiri yang memiliki imajinasi, pemikiran, kehendak, dan pelaksana yang berbeda, sehingga mempengaruhi terhadap hasil karyanya.

Berita Terkait