Wartawan: Menjaga Netralitas dan Independensi dalam Pilkada

Oleh: Dr. Adi Suparto, M.Pd

Setiap memasuki tahun politik, kita semua tahu bahkan setuju bahwa  “Ada korelasi yang signifikan antara peran pers terhadap proses suksesi kepemimpinan baik di tingkat lokal, regional maupun di nasional”.

Ruang media menjadi arena utama bagi kontestan pilkada untuk memperkenalkan diri dan mencoba meraih simpati masyarakat. Dalam pengamatan kami bahwa ruang media ini telah dijadikan sarana utama bagi para politikus untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan saling mengawasi.

Dalam konteks yang sama, peran pers dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini perlu dibicarakan. Bagaimana pers semestinya berkontribusi dalam perhelatan akbar ini dan hambatan apa yang akan dihadapi?

Saat ini suhu politik sudah terasa memanas. Bermacam cara dan kegiatan yang sudah mulai dilambungkan ke publik, baik secara langsung para kandidat melakukan sensasi demi menarik simpati masyarakat di daerahnya. Penyampaian opini dan pencitraan kepada masyarakat pun bermacam-macam caranya baik pendekatan antar pribadi, kelompok-komunitas maupun pemanfaatkan media publikasi. Jelang pilkada serentak 27 Juni 2018, pers memiliki peran penting dalam mengawal proses demokorasi  menentukan masa depan suatu daerah bahkan bangsa Indonesia.

Sesuai imbauan Dewan Pers yang disampaikan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengajak media massa untuk “Turut meredam kegaduhan dalam pilkada, meskipun pemilihannya itu sendiri selalu terjadi kegaduhan”.

Nah bagaimana menyikapi ini semua agar publik bisa lebih dewasa dalam meyikapi opini yang bergulir?  Aliansi Wartawan Muda Indonesia (AWMI) meminta agar semua insan pers harus berperan dalam menggalakkan leterasi politik kepada masyarakat.

Dengan memberikan pencerahan melalu pendidikan politik misalnya tulisan-tulisan di media kita, pada rubrik pilkada dan sebagainya, diharapkan ide-ide wartawan mampu menanamkan pemahaman masyarakat tentang makna demokrasi sehingga dapat meningkatkan partisipasi politik. Memberikan pemahaman, pembelajaran yang baik dan benar untuk segala hal pemberitaan di media cetak, tv, dan media online, supaya tidak mengurangi dan menambah pemberitaan-pemberitaan baik langsung dari narasumber hasil liputan maupun press release hendaknya ditulis secara objektif, jangan memasukkan opini yang bisa masuk dalam jebakan berita hoax. 

Profesi wartawan bersifat independen, tidak memihak. Dan ini salah satu ciri wartawan profesional. Karena itu salah satu tugas wartawan adalah memberikan pendidikan kesadaran politik bagi masyarakat secara baik dan benar. Mengapa demikian, karena  kualitas partisipasi politik masyarakat (pemilih) ditentukan sejauh mana masyarakat mampu menanggalkan preferensi pribadi, perasaan suka atau tidak suka kepada salah satu kandidat, sehingga masyarakat benar-benar memilih pemimpin terbaik untuk lima tahun ke depan.

Dalam melaksanakan tugas mulia sebagai insan pers, ada beberapa kendala yang dijumpai, misalnya politik uang yang dapat melibatkan wartawan yang tergoda dengan money politic ini. Pengalaman masa lalu mencatat bahwa bukan hanya wartawan yang larut dalam politik uang tapi juga redaktur, bahkan institusi media turut lebur dalam proses pemenangan pasangan calon yang seharusnya insan pers-lah  yang aktif mengawasi praktik politik uang.

Menjelang pelaksanaan pilkada serentak ini, AWMI mengingatkan jadilah wartawan profesional, melangkah sesuai dengan kode etik wartawan yang harus dijalankan. Menjaga netralitas dan independensi adalah sebuah kewajiban. (Penulis ialah Penanggung Jawab Media Advokasi.co dan Ketua Umum AWMI (Aliansi Wartawan Muda Indonesia)