Sengketa Pertanahan di Indonesia

Oleh : Wulandari Nuraini

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun.

Adapun faktor-faktor tersebut antara lain seperti peraturan yang belum lengkap, ketidaksesuaian peraturan, pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia, data yang kurang akurat dan kurang lengkap.

Data tanah yang keliru, keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah, transaksi tanah yang keliru, ulah pemohon hak atau adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.

Adapun permasalahan sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia seperti, permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan kepemilikan atas tanah, peralihan hak atas tanah, pembebanan hak, pendudukan eks tanah partikelir. 

Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 macam seperti, sengketa tanah antar warga, sengketa tanah antara pemerintah daerah dengan warga setempat, dan sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Pada umumnya yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah tentang persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. 

Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. 

Dalam hal ini, masyarakat bawah khususnya, petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. 

Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah, legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. 

Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. 

Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. 

Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.

Tentang Penulis : Wulandari Nuraini - Mahasiswa Prodi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)