Seluruh Pertanahan di Indonesia Harus Bersertifikat

Oleh : M. Alifrafifuddin

Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia adalah kementerian yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. 

Kementerian Agraria dan Tata Ruang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dijabat oleh seorang Menteri yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sejak 27 Juli 2016 Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia dipimpin oleh Sofyan Djalil.

Kepala BPN mengatakan bahwa, Presiden Jokowi meminta seluruh tanah di Indonesia sudah terdaftar pada 2025. Langkah itu sebagai bentuk perwujudkan reformasi agraria. 

Menurut Sofyan, pada 2017 ini pemerintah telah berhasil mengeluarkan sertifikat dan perbaikan data pertanahan mencapai 5,2 juta bidang. Sementara pada 2018 ditargetkan 7 juta bidang, 2019 dinaikkan lagi menjadi 9 juta. 

Setelah itu, setiap tahunnya pemerintah menargetkan mengeluarkan sertifikat 10 juta. "Itu dilakukan karena capaian saat ini masih sangat rendah. Di seluruh Indonesia, seluruh bidang tanah yang ada 126 juta. Sampai 2016, baru 46 juta yang bersertifikat.

Sofyan mengaku, dalam perjalanan proses sertifikasi itu, pemerintah mendapatkan beberapa hambatan, termasuk di sisi internal yakni kurangnya juru ukur. 

Kami sudah mengatasi masalah itu dengan mengangkat juru ukur swasta. Saat ini ada lebih dari 80.000 juru ukur untuk mempercepat proses pengurusan sertifikat," ungkapnya. 

Sementara untuk masyarakat yang menginginkan tanahnya terdaftar dan bersertifikat, mereka bisa ikut Program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap. 

Kendala lain yang muncul dalam proses sertifikasi tanah adalah bukti hukum hak dari masyarakat, misalnya memiliki keterangan dari kepala desa atau bukti warisan.

Sebelumnya, pengurusan masalah itu harus ke pertanahan, namun saat ini masyarakat bisa memprosesnya di kelurahan. Bahkan yang menarik, proses pengurusan sertifikat tanah saat ini dilakukan secara gratis. Tapi ada dua pengerjaan, prasertifikat dan sertifikat. 

Pada proses prasertifikat, pengurusan meterai dan penandatanganan berkas oleh desa bisa dikenakan biaya. Jumlahnya sudah diatur oleh tiga menteri, yakni menteri agraria, menteri desa, dan menteri dalam negeri, termasuk biaya maksimum yang boleh diambil. 

Dan, itu diputuskan oleh aparat desa setempat atau bupati berapa rupiah bisa diambil. Tapi itu sebenarnya sangat kecil dibandingkan pengurusan sendiri. Kalau sudah masuk BPN, kami jamin dalam satu tahun sudah mendapatkan sertifikat.

Dia menegaskan, percepatan program sertifikat ini dilakukan karena Presiden Joko Widodo ingin masyarakat memiliki bukti hak kepemilikan tanah. Sementara saat ini, tanah yang dikuasai korporasi persentasenya kecil. 

Sekarang tanah yang dikuasai kelapa sawit hanya 14 juta hektare, tapi hampir 40-50% adalah milik rakyat. Kebun milik rakyat. Nah, milik korporasi ini pun dipecah lagi menjadi milik BUMN. PT itu hanya menguasai 700.000 ha. 

Kemudian yang lain dikuasai perusahaan kelapa sawit. Kebun-kebun lain seperti kebun teh, kebun cokelat, dan kebun kopi, kebanyakan tanah milik rakyat. Secara mayoritas, tanah-tanah ini memang milik rakyat.

Sementara terkait polemik warga negara asing (WNA) yang memiliki tanah, Sofyan menegaskan bahwa WNA tidak boleh memiliki tanah di Indonesia. 

Aturannya jelas. Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang asing yang menikah dengan warga Indonesia, kemudian mereka memiliki tanah, tapi ini atas nama istri. Sah-sah saja. 

Jadi, kalau orang asing yang menguasai tanah, tidak ada. Tidak ada aturannya. Undang-undang kita tidak memungkinkan orang asing memiliki tanah.

Tentang Penulis: M. Alifrafifuddin - Mahasiswa Prodi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)