Rugi Besar Jika Pemahaman tentang Pemanfaatan Benur Lobster Masih Dangkal

MALANG - Maraknya penyelundupan benur lobster melalui Singapura mulai membuat geram Menteri Kelautan dan Perikanan hingga meminta Pemerintah Singapura tak mengizinkan benur lobster masuk negara Singapura untuk transit. 

Tercatat ada 3 negara tujuan utama pengiriman benur lobster dari Indonesia yaitu Vietnam, Filipina dan Thailand dengan harga mencapai 50.000/ekor untuk jenis lobster pasir dan 150.000/ekor untuk jenis lobster mutiara. 

Sebelum dikirim ke negara tujuan benur lobster tersebut akan transit di Singapura dan akan mendapatkan sertifikat yang akhirnya bisa masuk ke negara tujuan.

Dalam 3 tahun terakhir penggagalan penyelundupan benur lobster terus meningkat, dari tahun 2017 sejumlah 2.237.240 ekor ditaksir senilai 281,4 Miliar, tahun 2018 dengan jumlah 2.532.006 ekor dengan nilai taksiran 379,8 Miliar dan sepanjang tahun 2019 ini upaya penyelundupan yg berhasil digagalkan sudah berjumlah 3.100.000 ekor dengan taksiran senilai 474,6 Miliar. 

Dari sekian banyak penyelundupan yang berhasil digagalkan ternyata masih tercatat ada sekitar 100 juta ekor benur lobster per tahun yang berhasil sampai negara tersebut hal ini sesuai data yang ada di Vietnam sebagai negara yang memiliki ketergantungan benur lobster dari Indonesia.

Kontroversi pemanfaatan benur lobster ini bermula dari Permen KP 56/2016 dimana pada pasal 7 ayat 1 bahwa : setiap orang dilarang untuk menjual benih lobster untuk budidaya. 

Akibat peraturan tersebut benur lobster kerap diselundupkan untuk memuluskan pengiriman dan menghindari aparat terkait dengan bantuan para kurir. 

Lalu bagaimana jika kita amati secara ilmiah tentang pelarangan penangkapan Benur lobster dan penanganan benur lobster hasil sitaan selama ini.

Fakta Ilmiah

Pertama, menurut Vijayakumaran (2012), lobster memiliki fekunditas yang tinggi dimana dalam 1 induk lobster memiliki fekunditas mencapai 700.000 dan dapat bertelur 2 kali dalam setahun. 

Sehingga dalam setahun setidaknya ada 1.400.000 telur lobster dihasilkan dari 1 indukan, jika diasumsikan 1% yang berhasil mencapai 0.1-0.5 gram (benur transparan) maka setidaknya alam telah menyediakan benur sebanyak 14.000 dari satu indukan di alam. Ini adalah karunia yang luar biasa sehingga harus dimanfaatkan dengan tepat.

Kedua, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Clive Jones, UNSW, di Asia tenggara hingga Australia. Jika benur lobster tidak ditangkap maka 99,99% akan mati akibat dimakan preadator atau kekurangan nutrisi. 

Namun jika dipelihara dalam lingkungan yg terkontrol dan mendapatkan nutrisi yang cukup maka SR (Survival rate) atau tingkat kelangsungan hidupnya bisa mencapai 70% hingga panen. Hal ini tentu jauh lebih baik karena benur lobster bisa hidup 7.000 kali lebih banyak dari pada hidup di alam.

Ketiga, niat baik untuk menyelamatkan kerugian negara hingga ratusan miliar yang dilakukan oleh pejabat terkait dengan cara melepas liarkan benur lobster secara ugal-ugalan justru akan mengakibatkan kerugian yang sebenarnya akibat benur yang mati sia sia. 

Dalam fakta dilapangan sering diketahui bahwa pelepasan benur lobster dialam tidak sesuai prosedur yang tepat, seringkali benur lobster dilempar atau dijatuhkan dari atas kapal tanpa dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu sehingga terkesan sepeti memberi makan ikan di laut.

Perlu difahami selama pengiriman benur lobster ditempatkan dalam kantong plastik dan box styrofoam dengan suhu kurang dari 20'C dengan waktu berjam-jam.

Hal ini akan menyebabkan benur lobster dalam kondisi pingsan (kurang aktif) kondisi seperti ini sengaja dilakukan selama pengiriman untuk menghindari kanibal dan stres pada benur lobster. 

Sehingga perlu penanganan yang tepat sebelum dilepas liarkan ke perairan untuk menghindari shock atau stres pada benur lobster yang dapat mengakibatkan kematian.

Kempat, jika ditelusuri benur lobster merupakan spesies yang tidak diatur dalam CITES atau Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies satwa terancam punah yang dapat mengakibatkan kelestarian spesies terancam. 

Sehingga hal ini memberikan kesempatan dan keuntungan bagi negara transit seperti Singapura untuk melakukan perdagangan benur lobster secara legal kesemua negara tujuan.

Sudah semestinya Pemerintah berkolaborasi dengan Akademisi dan Praktisi Budidaya untuk mengatur pemanfaatan benur lobster secara optimal. 

Namun jika hal ini dibiarkan terus menerus seperti sekarang dan produksi lobster konsumsi hanya tergantung pada hasil tangkapan alam, ini justru akan menyebabkan overfishing.

Sehingga perlu trobosan baru untuk memberi kelonggaran pemanfaatan benur lobster untuk dapat dibudidayan dengan mewajibkan pembudidaya melepas kembali 1-5% lobster hasil budidayanya untuk kelestarian di alam.

Sehingga dapat memberi keuntungan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan menjadikan Indonesia sebagai produsen lobster terbesar dunia dengan cara yang bijak.

Oleh : Afan Arfandia - Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (Sekjend Himapikani)