Polres Dan Kejari Bangkalan Sudah Terapkan Restorative Justice, Apa Itu?

Kasi Pidum Kejari Bangkalan Choirul Arifin. (foto : wahyu/advokasi.co)

BANGKALAN -  Restorative Justice atau dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan. Restoratif merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.

Kasatreskrim Polres Bangkalan AKP Agus Soebarnapraja. (foto : wahyu/advokasi.co)Kasatreskrim Polres Bangkalan AKP Agus Soebarnapraja. (foto : wahyu/advokasi.co)

James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong (1997) menjelaskan bahwa keadilan restoratif pada mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash (1977) yang berusaha melihat tiga bentuk yang berbeda dari peradilan pidana. 

Pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. 

Kedua berhubungan dengan keadilan distributif, yang penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. 

Dan ketiga adalah keadilan restoratif, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. Pandangan keadilan restoratif menekankan pertanggungjawaban pelaku sebagai usaha dalam memulihkan penderitaan korban tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku serta menciptakan dan menjaga ketertiban umum.

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas hasil kerja sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Pendekatan ini dipakai sebagai bingkai strategi penanganan perkara pidana.

Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah membuat pelanggar bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas perbuatannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kualitas dirinya.

Melibatkan para korban dan pihak-pihak yang terkait di dalam forum sehubungan dengan penyelesaian masalah. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.

Dengan adanya keadilan restoratif, memang sangat dimungkinkan terjadinya benturan dengan asas legalitas dan tujuan kepastian hukum.

Namun, benturan itu akan teratasi dengan sendirinya ketika penafsiran akan kepastian hukum berupa kepastian hukum yang adil. Titik berat yang menjadi pertimbangan digunakannya keadilan restoratif ini adalah penyidangan perkara kecil yang secara filosofis dan justifikasi kurang layak untuk disidangkan, sehingga cukup dilakukan dengan mediasi saja dalam menyelesaikan masalah. Penal mediasi ini demi hukum dan keadilan yang progresif.

Penerapan saat ini di Indonesia

Keadilan restoratif mengambil peranan yang lebih luas di dalam sistem peradilan pidana Indonesia sejak amandemen Undang-Undang Perlindungan Anak pada tahun 2014. Walaupun UU tersebut hanya berlaku bagi anak dan remaja, wacana keadilan restoratif berkembang luas di dalam sistem peradilan Indonesia.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak tahun 2017 sudah membahas hal tersebut dengan para akademisi dan organisasi non pemerintah untuk membahas strategi implementasi keadilan restoratif secara lebih luas di Indonesia.

Untuk Bangkalan sendiri, ternyata pihak Kepolisian sudah menerapkannya sejak lama sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 6 tahun 2019 yang diakomodir pada pasal 12, hal ini disampaikan oleh Kasatreskrim Polres Bangkalan AKP Agus Soebarnapraja.

"Keadilan Restorasi sebenarnya sudah ada konsepnya pada tahun 2009 oleh pihak kepolisian, yang pada saat itu masih berbentuk jukrah Kapolri, kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2019 dengan dikeluarkannya Perkap nomor 12 dan diakomodir di pasal 12," ujarnya, Rabu (14/10/2020).

Agus juga menjelaskan sebenarnya hal ini lebih mengacu pada perkembangan hukum progresif yang lebih fleksibel yang dianut oleh negara negara maju seperti Perancis, Selandia Baru dan Arab Saudi, mengingat di Indonesia pada saat ini hampir semua Lembaga Pemasyarakatan mengalami overload.

"Sebenarnya kalau penyidik sudah mulai menerapkan keadilan restorasi maka tidak akan menggunakan hukum positif atau KUHP, akan tetapi hal ini tidak bisa digunakan di semua kasus lho ya, karena ini semua merupakan bagian sebuah konsep besar yang disebut Hukum Progresif yang arahnya nanti kepada "The Living Law" (hukum yang hidup dan fleksibel)" dan hal ini sudah berhasil kami terapkan pada beberapa kasus di Bangkalan," jelasnya.

Sementara dari pihak Kejaksaan Negeri Bangkalan sendiri melalui Kasi Pidum Choirul Arifin menjelaskan bahwa pihaknya sudah mulai menerapkan konsep hukum restorasi sesuai instruksi dari Kejagung RI.

"Barusan kami melakukan konferensi video dengan Kejagung RI dimana salah satu agenda yang dibahas adalah Hukum Restorasi yang mulai kita terapkan di Bangkalan," terangnya saat dijumpai Advokasi.co.

Ia juga menjelaskan bahwa selama ini memang Indonesia selalu menerapkan hukum positif dimana efeknya sang korban tidak mendapatkan ganti rugi atas kasus yang dialaminya.

"Selama ini Indonesia menerapkan hukum positif dalam semua kasus kejahatan sehingga korban tidak mendapatkan kembali harta atau kerugian yang ditimbulkan oleh ulah pelaku, nah dengan adanya hukum restorasi ini diharapkan pada kasus kasus yang kecil seperti pencurian ringan, korban bisa mendapatkan ganti rugi atas permasalahannya dengan syarat semua pihak harus sepakat, baru hukum positif atau pidana bisa kita hentikan," jelasnya. (Wahyu)