Pesta Demokrasi Berasaskan Pancasila

oleh: AKBP Anisullah M Ridha (Kapolres Bangkalan) Pesta sudah di mulai, umbul-umbul sudah dipasang, spanduk sudah dibentangkan, rangkaian kata indah sudah mulai bertebaran. Tapi ini pesta bukan sembarang pesta, "Party Not As Ussually". Ini adalah pesta demokrasi, demokrasi berazaskan Pancasila. Penggambaran sebuah pesta akan selalu sama, bahkan pada pesta kematian pun akan selalu ramai oleh suara-suara, ramai dengan musik, ramai dengan orang senda gurau, ramai dengan orang protes karena gelas untuk minum habis, atau ada yang kecewa karena tidak kebagian sate padang. Bahkan ada yang sedih karena telat datang ke pesta dan tidak kebagian apa-apa. Itulah dinamika pesta. Saat anak saya ulang tahun dan saya sebagai orang tua membuat party kecil-kecilan dengan menghadirkan kawan playgroup nya, terbentuk pengorganisasian kecil disana. Ada pelaksana pesta, ada pengawas pesta, ada managemen lokasi pesta, ada undangan pesta dan tentu saja ada yang hanya melihat pesta dari luar. Pesta demokrasi ala Indonesia sudah di mulai. Pasangan calon dan pengiringnya sudah menebar pesona menjaring pemilih dengan janji-janji politik yang mempesona. Itu harus. Tanpa memberi janji tak ada harapan ke depan. Yang penting janji harus ditepati saat pesta usai. Kegembiraan dalam pesta adalah hal yang lumrah.  Semua pesta yang pernah saya hadiri hakekatnya adalah kegembiraan. Demikian pula halnya dalam pesta demokrasi ini. Sebuah acara yang di buat oleh negara untuk seluruh rakyat dan semua pasti akan terlibat, walaupun hanya sebagai penonton yang berharap dapat berkah pesta (ngalap berkah). Dalam pesta spesial ini ada yang berperan sebagai fasilitator Mediator Penyedia Tempat (Negara), ada sebagai Regulator (KPU), ada juga Inspektur/Pengawas (Bawaslu), ada Kompetitor yaitu para calon yang berkontestasi, ada pula Komentator yang selalu berkomen kalau ada anggota pesta tidak sesuai dimata mareka, ada pula Provokator yang suka mengompori kawan-kawan berpesta supaya menyalakan kembang api, bikin musik aliran baru yang keluar mainstream pesta. Pastinya ada pula yang berlagak jadi pusat perhatian, membual sana sini, bikin berita palsu untuk diri sendiri dan bahkan orang lain. Penyakit yang bukan hanya pada zaman now ini. Banyak sekali unsur sebuah pesta demokrasi ini sehingga akan menjadi meriah dan penuh suka cita jika berlangsung sesuai harapan. Dan menjadi musibah penuh duka cita jika pesta berakhir dengan kenyataan pahit, bubar dalam kericuhan. Semua cari selamat masing-masing. Inilah pesta kita. Pesta Demokrasi Pancasila kita. Harus kita rawat dengan segala kelebihannya, sehingga menjadi legacy yang baik untuk anak cucu kita nanti. Perbedaan dalam pilihan merupakan sebuah hak. Tetapi tentunya hak itu juga dibatasi oleh kewajiban-kewajiban yang melekat pada tiap individu dan kelompok.  Jangan pernah menjadikan perbedaan sebagai alat untuk berpecah. Jadikanlah perbedaan sebagai warna. Sebagaimana bedanya baju kita dalam sebuah pesta tak akan membuat bubar itu pesta, malah akan menambah keceriaan dalam bergaul dan berbaur.  Kewajiban dalam berpesta selalu sama; kalau tidak suka bakso boleh pilih gado-gado, tapi tidak boleh mencela dan mengatakan bakso tidak enak hanya karena tidak suka. Mari berpesta dengan sebaik-baiknya perilaku, berpesta dengan sopan-santun dan bermartabat. Tak ada pesta yang tak berakhir, umbul umbul akan di cabut, baliho akan diturunkan dan tuan rumah akan berberes untuk menyambut hari manis berikutnya. Akhirilah pesta dengan kegembiraan, cerita senang, sebuah pengalaman baru, kawan baru,  atau bahkan pasangan baru.