Nasib Guru Honerer : Menghitung Suara Tokek

OPINI - Tentang nasib guru honorer di Indonesia seakan tidak  lebih mulia daripada "pembantu rumah tangga". Kenapa?  Untuk jadi guru honorer (GTT) harus berijasah S1 linier, akan tetapi upahnya jauh  dibanding emak-emak yang jadi "pramuwisma" (untuk tidak menyebut babu) yang ijasahnya nggak jelas. Bahkan menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri dapat perlindungan dari LPBMI (Lembaga Perlindungan Buruh Migran Indonesia), sementara jadi guru honorer tidak dapat perlindungan peraturan perundang-undangan secuilpun. Kadang jadi bahan ledekan, "orang utan di kebun binatang saja dilindungi, masa sedangkan guru honorer tidak sama sekali". Pembantu rumah tangga di beberapa negara di luar negeri bahkan mengganggap pembantu sebagai "partner ship"  dari majikannya, bukan "babu" lagi. Memang masih ada kasus pelecehan terhadap buruh migran seperti pencabulan, perkosaan, persekusi, atau bullyng, namun hal tersebut bersifat kasuistis

Kembali pada nasib guru honorer di Indonesia, sungguh tidak masuk akal sehat. Tuntutan kerjanya sama dengan guru PNS, akan tetapi untuk guru honorer tidak memiliki sistem penggajian yang jelas. Padahal guru honorer adalah termasuk pegawai _profecional-skilled_ yang bekerja berdasarkan kemahiran individu di bidangnya (kompetensi) yang benar-benar layak. Sehingga jika kemudian nasib guru honorer bekerja tanpa aturan penggajian dan perlindungan yang jelas itu sama halnya pelanggaran hak asasi manusia.  Sebab bagaimanapun juga, guru honorer justru sebagai garda depan dalam memberantas kebodohan. Guru honorer secara kualitas lebih  kompentensif dibanding guru PNS (terutama) guru yang sudah memiliki usia lanjut (senior). Guru honorer lebih kompeten tentang IT, medsos, atau yg berhubungan dengan internet bahkan teknis mengajar modern, serta perangkat kurikulum. Sementara guru PNS yang senior umumnya mengalami "gaptek". Inilah suatu bukti bahwa guru honorer layak mendapat perhatian  khusus dari pemangku kebijakan dan regulasi. Pemerintah sebagai pemegang kartu political will harus segera menyelesaikan dilematika guru honorer tersebut karena selama ini pemerintah telah terbantu oleh etos kerja dan kebesaran jiwa guru honorer.

Posisi Tawar yang Lemah

Guru honorer memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah sungguhpun secara kuantitatif jumlahnya cukup besar. Jumlah guru honorer di Indonesia berkisar antara 1,5 - 2juta, akan tetapi seolah terserimpung oleh  adanya mitos "pahlawan tanpa tanda jasa" sehingga tabu bagi guru honorer untuk menuntut hak misalnya minta honor yang layak. Dari sinilah akhirnya  guru honorer masih kerap pula disebut guru sukarelawan (sukwan). Kata sukarela itulah yang menjadikan guru honorer tetap dipandang sebelah mata oleh pemangku regulasi, bahkan dikatakan guru elegal sebagaimana yang diucapkan oleh Bupati Garut beberapa waktu lalu yg pada gilirannya menjadi pemicu demo guru honorer di mana-mana !  Bayangkan masih tidak sedikit guru honorer dg masa kerja 10 tahunan cuma berhonor Rp 300 ribu/bulan, itupun kalau ingin mengundurkan diri nggak ada yang nggandoli. Ironis.

Diangkat CPNS

Sebagaimana pernyataan Mendikbud Muhajir Effendi beberapa waktu lalu bahwa guru honorer bisa menutup kekurangan guru PNS di Indonesia. Paling tidak mengganti guru PNS yang pensiun, terutama yg sudah mengabdikan diri puluhan tahun. Akan tetapi tidak semudah itu, sebab Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) mewajibkan untuk bisa diangkat menjadi PNS/ASN harus seleksi. Akibatnya banyak guru honorer yang sudah berusia tua menjadi putus asa lantaran merasa dilecehkan oleh peraturan perundangan yg bersifat otoriter dan dogmatis tak berperikemanusiaan. Agaknya pemangku regulasi lebih berpikir pada reformasi berokrasi ketimbang unsur-unsur humanistis dan kemanusiaan.

PPPK

Melalui PP No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diharapkan bisa menjadi "harapan baru" bagi guru honorer (terutama) yang punya limit usia di atas batas rekrukmen ASN / PNS. Sayangnya, pemerintah seolah masih "setengah hati" memberlakukan PP tersebut karena untuk bisa menjadi guru berbasis PPPK semua GTT masih harus melalui test. Padahal pengabdian mereka sudah puluhan tahun, tidak kenal lelah, tulus dan ikhlas meski tanpa gaji tetap. Jika sistem test / uji kompetensi tersebut tetap diberlakukan, guru honorer akan bernasib sama dengan waktu-waktu sebelumnya berada di "lingkaran impian".

Padahal jumlah guru honorer yg menggantungkan impiannya untuk bisa terangkat jadi PPPK membengkak. Hal ini dampak dari tidak adanya pemetaan yang konkret tentang guru honorer. Dan kenyataan di lapangan meski di beberapa daerah ada edaran dari gubernur/bupati/walikota untuk tidak menerima lamaran guru honorer/GTT, akan tetapi surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan, bukan suatu keharusan. Diterima dan tidaknya lamaran guru honorer tetap bergantung pada kepala sekolah bukan urusan pejabat/kepala wilayah. Fenomena itulah yg membuat kuantintas guru honorer semakin hari kian bertambah.

"Guru bukan PNS di sekolah negeri 735,82 ribu orang dan guru bukan PNS di sekolah swasta 798,2 ribu orang," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy beberapa waktu lalu saat menghadiri Rapat Kerja Gabungan Komisi I, II, IV, VIII, IX, X, dan XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senin (4/6/2018).

Muhadjir menyatakan jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Menurut dia, banyaknya jumlah tenaga guru honorer disebabkan oleh kurangnya tenaga pengajar berstatus PNS di Indonesia. Saat ini, Indonesia kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang.

Angin Baru Gubernur Khofifah

Ada angin baru dari Gubernur Jatim Khofifah bahwa telah menganggarkan dalam APBD Jatim 2019 untuk kesejahteraan guru honorer (GTT). Ada semacam insentif sebesar Rp 750.000,- / bulan untuk GTT tetapi hanya untuk SMA-SMK. Jika informasi tersebut benar, Ini jelas merupakan ironi baru, bahkan mengadung unsur "dikotomi" dan "diskriminatif". Sebab GTT itu bukan hanya di SMA-SMK saja. Mungkin bagi Khofifah GTT SMA-SMK saat ini ditangani oleh provinsi. Jelas kecemburuan baru telah menghadang, sejauh kebijakan gubernur tersebut tidak merata pada semua jenjang GTT dari TK hingga SMA-SMK.

Dari seluruh uraian  di atas mengisyaratkan betapa nasib guru honorer tetap dalam pabrik impian (dreams factory). Ini yg menyebabkan guru honorer rela melakukan legal action turun jalan  mendesak pemerintah untuk secepatnya menerbitkan Keppres. Jika misalnya merubah Undang-Undang No. 5/2014, atau Permen (Pan) terlalu lama karena merubah produk peraturan perundangan tidak semudah membalik telapak tangan. Saya kira hanya Keppres satu-satunya celah yang bisa mengakomodir kepentingan guru honorer. Krusialitas perjuangan guru honorer dalam upaya merubah nasib tersebut tentu akan semakin pelik jika aksinya tidak mendapat respons dari institusi di tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini bupati/walikota atau, dan dinas pendidikan. Sebab apabila misalnya pemerintah "dipaksa" untuk mengangkat seluruh guru guru honorer dari tingkat TK - SMA, maka setiap tahunnya paling tidak dibutuhkan dana sebesar  Rp 30 - 40 triliun. Besaran anggaran sebesar itu jelas sulit didapatkan kecuali harus memangkas pos-pos anggaran agar guru honorer terangkat nasibnya. Untuk itu guru honorer tetap berada di pusaran "dilematika" dan harus lebih tajam dalam penestrasinya melakukan aksi turun jalan. Dan memang nasib guru honorer tetap seperti menghitung suara tokek di bubungan rumah : otok-otok tokek diangkat....tokek tidak diangkat....tokek diangkat....tokek.....

Tetapi sungguhpun demikian eksistensi guru honorer tidak boleh hanya menjadi kalungan puisi indah tanpa kenyataan.  Duh...

Disampaikan Oleh : Herry Santoso*

------------------------------------
*Herry Santoso: pemerhati masalah sosial politik, dan pendidikan tinggal di Blitar Jawa Timur

Berita Terkait