Helaan Nafas Pemerintah dalam Kebijakan Pertanahan yang Kurang Antisipatif

SIDOARJO - Tanah merupakan kebutuhan pokok dalam memenuhi gejolak peningkatan pengembangan sektor pembangunan. Pembangunan yang dilakukan bertujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pada era revolusi industri 4.0. 

Dimana dapat kita lihat pada era revolusi industri 4.0 ini banyaknya pengusaha berlomba-lomba untuk membangun pabrik atau perumahan yang mana menggunakan lahan tanah masyarakat. 

Khususnya warga desa banyak yang merelakan lahan persawahan yang mereka miliki untuk dijadikan sebagai lahan industri dengan menerima kompensasi ganti rugi uang yang tidak sedikit dari para pendiri industri. 

Seperti yang terjadi di wilayah kecamatan prambon, dapat dilihat banyak terjadi peralihan fungsi lahan yang dahulunya dikelola sebagai lahan agraris lalu sekarang beralih sebagai lahan tinggal landas. 

Selain rencana lahan yang akan dijadikan industri, juga banyak pembangunan perumahan-perumahan di wilayah tersebut dan membuat area lahan sawah di wilayah kecamatan prambon semakin berkurang.

Historical coevolution of governance and technology in the industrial revolutionsyang ditulis Tunzelmann pada tahun 2003 telah mencatat bukti-bukti sejarah perubahan utama yang terjadi pada tata kelola pemerintahan kaitannya dalam perubahan teknologi pada tiga masa revolusi industri sebelumnya. 

Intinya, inovasi teknologi selalu memaksa pemerintahan untuk mau bertransformasi. Tata kelola pemerintahan pada masa revolusi industri 1.0 menekankan pada markets governance, sebab sumber daya kunci adalah tenaga kerja. 

Pada revolusi industri 2.0 ketika mesin mulai membantu manusia, proses manajerial dikedepankan sehingga yang muncul adalah tata kelola yang hierarkis. 

Lalu revolusi industri 3.0 di era informasi yang berlimpah menghasilkan tata kelola kolaborasi dan jaringan. Kini, bagaimana dengan tata kelola di era revolusi industri 4.0?

Teknologi menghasilkan inovasi disruptif, yang mengganggu kemapanan. Disrupsi, yang disebut Rhenald Kasali bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future)yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini.

Hari ini (the present)tidak memberi helaan nafas yang panjang bagi suatu pemerintahan untuk punya cukup waktu memikirkan kebijakan yang antisipatif.

Oleh : Ayu Widiyaningrum - Mahasiswa Prodi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida)